Senin, 22 Juni 2009

diam itu

Pena : A.Rengganis

Diam itu,,
Memburu pada deru yang merenggut pada padam yang
Makin hanyut
Terhempas
Lepas pada asa yang senyap
merajut pada tiap jengkal bayang

jika saja diammu itu
Lepaskan dahaga
mari bernada pada bisu
mari bernada pada bisu
tapi tak lama akan mati sendirian
sepi
karena makna tak lagi terurai oleh kata
sepi mati

berjumpa terang

Berjumpa terang
Pena:A.Rengganis


Sesekali ku sebut namamu di tengah kegetiran atau di peliknya persoalan yang
melanda tanpa mengenal lelah
bertatap mata pun kita tak pernah bahkan isyarat kata-kata tak ada
dengan cara apa kau uraikan kegelisahan?
sementara
di setiap detik aku mengadu tanpa berlelah. tanpa mengeluh
di pusaran waktu yang terus membelengu aku menengadah menyebut namaMU
tidak kah Kau tengok sekejap saja?
Tidak kah Kau jenguk sebentar saja
sementara
di setiap gelap aku terus terjaga
tidak kah Kau jenguk sekejap saja?
sementara di setiap gelap aku terus terjaga

pelukis malam

Pelukis malam
Pena: A.Rengganis


Melukis malam dengan seribu kuas cat beragam warna
Begitu ada keasingan yang mengisi
Di pojok ruang bertinta dengan ke-alpa-an suatu rupa
Pelukis jagad pelukis alam pelukis semesta
Berpeluh kesah dalam suatu tata ruang gemerlap penuh tanya

esai tentang puisi

Sekat Batas antara Puisi dan Penyair
Oleh : A.Rengganis
*

….Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi…
(Soebagio Satrowardoyo)

Jangan sepelekan puisi. Sepengal bait dalam puisi tidaklah sekedar kata-kata kosong. Dalam sebuah puisi terdapat rangkaian kata-kata yang membangun pola dan dunianya sehinga kalimat itu menjadi bernyawa. Puisi bukanlah suatu proses pencarian bentuk kata-kata yang tak selesai. Meminjam penilaian Sapardi Djoko Damono yang melihat pengalaman puisi sebenarnya tidak terucapkan, karena itu puisi selalu menyisakan keremang-remangan Puisi yang ditulis oleh si penyair memang cenderung lekat degan pengalaman puitik si penulis. Hal ini memeperjelas bahwa hakikat puisi sebagai suatu bentuk tulisan yang bersifat sangat pribadi/personal. Sebuah puisi biasanya memang hanya akan berisi cerminan pemahaman sang penulis puisi (penyair) akan sesuatu hal di dunianya. Konsep ini tidak ada campur tangan orang lain artinya puisi lah yang melekat pada penyairnya, dimanapengalaman dan sisi gelap penyair akan ter-representasikan pada rangkaian kata-kata puisi.
Seperti dalam pandangan Afrizal Malna yaitu pola seperti logos, rasionalisasi, pengetahuan, tehnik, semuanya itu baru mulai bekerja ketika penyair mulai mencari bentuk untuk merepresentasikan pengalaman tersebut. Apakah benar pernyataan yang digaungkan oleh Malna? Jika benar demikian, akankan tanpa proses tersebut, intelektualisasi dalam pembentukan puisi hanya akan menyisakan pengalaman puisi gelap?. Akhirnya, puisi tersebut akan sangat sulit dipahami dan hanya sekedar nilai ekskusifitas si penyair. Apakah ini yang menjadi satu alasan agar (kata sebagian orang) tak perlulah puisi itu di terjemahkan. Karena puisi tersebut sudah sedemikian pribadi dan subyektifitas puisi tersebut melahirkan maknanya sendiri. Jika demikian bukankah puisi akan gagal membangun dirinya menjadi ide atau visi-visi tertentu. Akankah puisi nantinya menjadi dunia misteri yang di dalamnya hanya sekedar pengalamn si penyair? Pengalaman yang hanya akan menjadi kekosongan kata-kata yang sia-sia dituliskan. Menyoal ke sia-sian dalam puisi dibantah keras oleh Wing Kardjo yang ia tulis dalam sepengal puisi ; Kutuliskan lagi kata-kata sepi. Kutuliskan tak henti-henti walau tak berarti Dalam ungkapan puisi tersebut seolah ada usaha bagaima menjelaskan ke sia-sian sebagai sesuatu yang tdiak sia-sia. Dalam uraianMalna di ungkapkan bahwa kesia-siaan adalah suatu bentuk sebagai pengalaman yang bermakna. Lalu apa sebenarnya puisi? Apakah sekedar ruang yang mengidentifikasi teks-teks yang menjadi suatu “rahasia” dan “misteri”?. Bagaimana kemudian kita (sebagai pembaga) menikmati puisi secara utuh?. Misteri estetis di dalamnya adalah kesan dimana puisi ini akan sangat menarik atau hanya akan menjadi misteri. Namun misteri tersebut menurut Abdul Hadi bukanlah suatu jalan untuk menenggelamkan puisi ke dalam semcam dunia yang tidak tersentuh yang ia sebut sebagai “ruang menyelenggarakan kesunyian”. Karena sebenarnya ia suati upaya untuk memenuhi niali estetis dalam puisi untuk menghadirkan daya pesona tertentu. Bnayak penyair Indoensia yang menggunakan berbagai macam gya dan pesoan untuk mencari nilai estetik tersebut. Ruang estetik ini yang menjadi arus dalam penonjolan kretivitas dari masing-masing penulis. Persolaan gaya dalampuisi ini ditimpai oleh Gunawan Muhammad bahwa sejatinya sebuah puisi itu berbicara langsung, hanya kadang-kadang jalan yang ditempuhnya buknalah jalan yang dipetakkan satu petak demi satu petak Seiring perkembangan zaman, kini gaya bahasa puisi kontemporer semakin sederhana, dengan pembawaan puisi gaya teatrikal, meledak-ledak seperti orasi, dan menjadi semcam alat pergerakan. Ini menjadi beberapa cara yang telah ditempuh guna mengubah puisi agar lebih komunikatif dan menjadi milik semua orang. Tidak lagi menjadi ruang hitam yang gelap dan penuh misteri. Karena puisi (sastra) juga terus-menerus mengambil semakin banyak peran dan pengaruh dalam kemajuan kehidupan manusia. Kita lihat dalam kemajuan peradaban Tiongkok (yang juga mempengaruhi Vietnam, dan Jepang,) tentu tak bisa dilepaskan dari budaya mereka yang sangat menjunjung tinggi sajak- sajak dan para penyair. Sementara dalam dunia sosial dan politik telah berkali-kali pula dicatat peran para penyair misalnya, Pablo Neruda, Chairil Anwar Nikolai Vaptsarov, Taufik Ismail, Fransisco Borja da Costa, juga Wiji Thukul, yang lewat puisi mereka memimpin bangsanya ke arah perubahan. Mari kita lihat sepenggal puisi Wiji Tukul yang turut di gaungkan saat melumpuhkan orde baru;
“…Apabila usul ditolak tanpa ditimbang ,
suara dibungkam , kritik dilarang tanpa alasan,
dituduh subversive dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata : lawan!...”
( Penggalan Puisi Surat Peringatan)
Tak ada alasan untuk menilai kalau menulis puisi itu hanyalah ke-sia-sian belaka.
Mari kita jawab sendiri apakah benar demikian?.

* Annisa Rengganis yang biasa dipanggil Qthink saat ini masih aktif menjadi anggota Teater Sianak sks 2006. Selain kuliah di jurusan Teater Sianak, ia pun aktif belajar di kelas ilmu Politik FISIP unsoed. Ia hanya wanita yang biasa-biasa saja namun banyak mimpi sampe lupa dunia sebenarnya itu seperti apa. Esai kecil ini pernah dimuat di buletin Gairah Tak Biasa (GTB) volume 3.

menggugat senyap

Menggugat Senyap…!!!
Pena: A.Rengganis


Belumlah tepat
aku ciptakan titik hitam
karena,,,
yang lain masih pudar

Selamat menuju kumbara
aku disini tetap terjaga

kemudian,,
terurai juga harapmu
apakah itu hanya sekedar sisa-sisa dari tenaga untuk bersua?
ataukah sudah lama kau terpenjara oleh diam?
Diam.
sstt…! tanpa kata-kata seolah tiada apa-apa

Maka gelisah itu bangkit menjadi rangkaian kata-kata
Ini kutukan? Atau gugatan?
Berbisik kita desahkan; ayo kita lawan,!!
Aku mengurai, akan kita hadapi? Atau perlahan berlari?
Kau semakin remang sebelum aku mendapatkan jawaban
Itukah pilihan
Itukah jawaban
Itukah jalan dari segala persoalan

Bukankah malam terlalu sepi untuk dilewati sendiri
Seperti biasanya hnaya ada malam yang angkuh
aku dan kamu
mari berlarut dalam malam yang hampir usai

Jika sepi kelak menyambut pagi
di sanalah aku hadir dalam celah-celah lamun mu
kujamah detak lerung untuk terbebas dari penjara yang mendesak rutinitas hingga penat
dan kita mendesah lagi:
mari…
menggungat senyap..!!

malam yang resah

malam yang resah
02 januari 09
Oleh : A.Rengganis


Jikalah benar malam semakin tua
maka,
disanalah
ada aku yang berjingkrak pada asa
aku yang sedang memendam amarah
juga
disanalah
aku yang sedang menghitung detik per detik
waktu yang kian berputar tak kenal kompromi


sebentar saja,..
jenguklah malam yang semakin usang
di ingatkan kembali pada rutinitas yang
hanya sebatas penjara . sesak. penat. belenggu.
Sementara..
waktu terus menggeliat tanpa bersalah
ia angkuh pada jiwa yang rapuh
ia terus saja
berlari jauh sebagai pengembara
yang melintasi tiap tiap kesepian pertanda hari makin renta
yang menikmati jelajah hari pertanda akan terus berkelana menyambut kehidupan
berpola. bersinergis.
teratur pada suatu kesepakatan
tiada lelah
hanya sesekali ada guratan dari sisa-sisa hati yang resah. gundah.

sebelum kau dan aku usai menceritakan malam
temaram kian padam
merkuri hanya
melintas cakrawala malam yang kian surut dengan membawa segala persoalan yang tertunda
dengan kepingan reruntuhan kian berserakan
berpencar untuk sementara
disanalah kita masih menyimpan harapan dari ke-sia-sia an
menjinakkan lagi segala kebuntuan yang belum terpecahkan

sambil kau rengkuh aku di seperempat malam yang belum sempurna
bibirmu memainkan irama indah dan bersenandung
“gapai. gapai lah bintang yang kian ingkar akan janjinya”
kau bisikkan dengan mesra sementara resah di hatiku makin berkelebat
entah mengapa?

semakin merdu nyanyianmu justru
semakin meruntuhkan nyali ini
semakin
terasa di kala desir-desir ombak kian menyapu pada keraguan hati
yang,
akan terbantahkan oleh apa yang kau sebut kebenaran
selanjutnya,,
adalah kebuntuan yaitu teman di setiap celah mimpi

tak perlulah kau bernada lagi
mari kita nikmati dan berjingkrak pada malam yang sepi
bisu
dan tak usah lagi memburu waktu

Sabtu, 20 Juni 2009

sepi yang emosi

tidakkah ada kekuatan lain yang mengantarkan pada suatu harmonisasi
dalam pola yang teratur dengan sudut yang simetris dan
disanalah tempat kita temukan kedamaian
adalah suatu masa yang terus merenggut keadilan penuh daya pakasa tanpa tawar menawar harga mati
pada suatu ketika yang sepi

inikah cara kita
melerai malam dengan segala ketakutan
mencari apa yang enggan kita kejar
mengurai makna yang sebenarnya tidak lagi terbeli
inikah suatu
sudut yang sudah mati mencari simpul terputus yang
kita namakan kebuntuan

berlari
mencari mangsa di tengah padang sahara yang gersang tak bertanda
tiada muara
sampai menemukan oase yang tampak menyegarkan padahal
itu hanya
suatu fatamorgana melengkapi pada kata-kata yang belum sempat terucap
melengkapi janji janji yang kian ingkar sampai
melewati batas waktu yang tidak terelakkan
pusaran waktu memburu kian cepat sedangkan hati terus berkelebat
inikah
pencarian yang mengantarkan pada kebuntuan
sepi sepi tanda emosi
emosi emosi yang kian sepi